Perbedaan, lalu?

“Terkadang kita merasa takut dengan perbedaan.” kalimat itu masih terus teringat bahkan sampai siang ini, sekaligus membuat ku berpikir, iya ya, terkadang kita takut dengan perbedaan. padahal kalau mau di pikirkan lagi, perbedaan itu sebetulnya makhluk atau benda macam apa sehingga kita cenderung takut dengan perbedaan.

aku jadi teringat kisah seorang cendekiawan, mengenai para relawan muda yang di kirim ke daerah-daerah terpencil untuk mengabdi sebagai guru selama 1 tahun. tantangan lain adalah, perbedaan agama. seorang perempuan muslim, berjilbab di tempatkan di sebuah desa yang keseluruhan penduduknya adalah kristiani. kesan pertama yang terlintas di pikiran perempuan muslim itu adalah ketakutan, takut karena perbedaan agama. perempuan ini belum pernah hidup di lingkungan yang berbeda agama dengan dirinya, demikian juga dengan masyarakat yang penduduknya menganut agama kristiani, mereka malah belum pernah melihat seseorang yang beragama islam itu bagaimana dan seperti apa. awal adaptasi,hubungan antara perempuan muslim ini dan warga sekitar masih kaku, tapi setelah satu tahun, malah kepala desa setempat menginginkan agar perempuan muslim itu tetap tinggal di desa-nya.

lalu? masyarakat yang keseluruhan penduduknya kristiani itu kini mengenal yang namanya islam dan mereka menyatakan bahwa orang beragama islam itu baik. demikian juga dengan perempuan muslim tadi, tidak lagi dengan ketakutannya berada di tengah masyarakat yang berbeda agama dengannya, bahkan menganggap bahwa masyarakat kristiani itu sangat ramah dan baik pada orang yang berbeda seperti dirinya.

Tidak selamanya yang berbeda dengan kita perlu di takuti, atau sampai di hindari. karena belum tentu apapun yang berbeda dengan kita adalah sesuatu yang tidak baik menurut kita jika kita belum mengenalnya dengan baik. terkadang hal ini membuat kepala ku mulai berimajinasi mengenai dunia yang dapat menerima perbedaan. ingat! Dunia yang Dapat Menerima Perbedaan. bukan dunia tanpa perbedaan, that’s impossible. andai saja semua orang mampu menerima dan menyikapi perbedaan dengan cara yang arif dan bijak, mungkin kekacauan seperti di Palestina-Israel, Yaman-Arab Saudi, Ukraina bahkan sampai yang berjaring-jaringan seperti ISIS sekalipun tidak akan terdengar suarnya sampai detik ini. sayangnya, kata orang dulu arif dan bijak hanya di miliki oleh para Raja, sedangkan orang kekinian tidak bisa lagi dibedakan mana Raja atau yang ‘mencoba’ menjadi Raja. Yap. kembali lagi, it’s just my imagination. Hei, Kalian ada yang berbeda pendapat dengan ku? Oh, come on., lalu? 🙂